Lima Puluh Kota, Presindo.com – Di tengah maraknya praktik jual beli hutan ulayat yang dibungkus sebagai transaksi tanah perkebunan milik Pribadi, di Kabupaten Lima Puluh Kota, suara adat kembali menggema.
Jum’at 3/10/2025.
Budayawan sekaligus pakar adat Minangkabau, Mak Katik, mengingatkan bahwa hutan ulayat bukanlah sekadar sebidang tanah, melainkan titipan leluhur yang diwariskan untuk anak cucu.
“Dalam falsafah Minangkabau, pusako tinggi indak buliah dipaureh, indak buliah dipajua. Tanah ulayat adalah akar jati diri, tempat hidup dan mati anak kemenakan. Kalau ulayat habis terjual, sama artinya kita memutus tali pusaka dari nenek moyang,” ujar Mak Katik penuh penekanan.
Fenomena jual beli tanah ulayat belakangan kian mengkhawatirkan. Sengketa tanah meletup di media sosial dan pemberitaan, melibatkan warga, ninik mamak, hingga oknum perangkat nagari. Praktik ini dianggap mencederai adat dan mengancam eksistensi hutan yang mestinya dijaga bersama.
Mak Katik menegaskan, perangkat nagari dan jorong tidak boleh gegabah menandatangani surat jual beli tanpa turun langsung ke lapangan. “Adat mengajarkan: alam takambang jadi guru. Sebelum menorehkan tanda tangan, lihatlah kenyataan di lapangan, tanyalah ninik mamak, dan dengarkan suara kaum. Jangan hanya percaya pada selembar kertas,” tuturnya.
Dalam struktur adat Minangkabau, ninik mamak dan Kerapatan Adat Nagari (KAN) adalah penjaga ulayat. Mereka bukan sekadar pemimpin simbolis, tetapi benteng terakhir yang memastikan warisan tidak tercerabut. Karena itu, keterlibatan mereka diyakini sebagai jalan damai untuk meminimalisir konflik.
Tak hanya nagari, publik juga mendesak Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar tidak gegabah menerbitkan sertifikat tanah. Legalitas formal tanpa landasan adat hanya akan menimbulkan sengketa baru. “Jangan sampai sertifikat keluar, lalu terkuak bahwa tanah itu masih ulayat. Itu bukan saja melukai hukum negara, tapi juga hukum adat,” kata Mak Katik.
Gelombang persoalan tanah ini dinilai harus segera menjadi perhatian serius Bupati dan Forkopimda. Edukasi mengenai administrasi tanah perlu ditanamkan kembali hingga ke tingkat jorong, agar masyarakat dan perangkat memahami garis batas antara hak pribadi dengan hak ulayat.
Mak Katik menutup dengan sebuah pesan filosofis:
“Adat Minang bukan hanya pepatah di dinding, tapi pedoman hidup. Kalau ulayat kita jual, maka hutan akan gundul, adat akan goyah, dan generasi akan kehilangan tanah berpijak. Ingatlah, ulayat bukan milik kita hari ini, tapi warisan yang harus sampai ke anak cucu besok.”Tanah hulayat atau pusako tinggi, dalam pituanyo di sabuik, juanyo indak di makan bali, gadai nyo indak di makan sando, Lakek nyo sako dek pusako, Kalau harato alah habih, kemungkinan gala sako indak akan ado lai, Pusako tinggi itu milik urang banyak, kalau di jua oleh seseorang panti “mandi” ka badan nyo, dimakan sumpah satie kura’an nan 30 jiuz, sabanyak barih di ateh, sabanyak barih di bawah, sabanyak dapan di bunuak.
(Eka Yahya)







